Keberanian sejati bukan semata diukur dari otot, senjata, atau kekuatan fisik. Lebih dari itu, keberanian tertinggi adalah keberanian untuk bersuara ketika banyak orang memilih diam. Kesatria sejati bukan hanya mereka yang berperang di medan laga, melainkan mereka yang berani mengucapkan kebenaran meski harus menghadapi risiko dikucilkan, ditentang, atau bahkan disakiti.
Bersikap jujur bukan perkara mudah. Banyak orang mampu berlari di medan perang, tetapi tidak semua mampu berdiri tegak ketika kebenaran terancam dipelintir. Diam kadang terasa lebih aman, kompromi tampak lebih bijak, dan kepura-puraan sering kali terlihat lebih menguntungkan. Namun, sejarah membuktikan bahwa kebohongan sebesar apa pun akhirnya runtuh oleh keteguhan suara-suara jujur yang konsisten.
Keberanian seorang kesatria justru lahir dari hatinya yang tidak tunduk pada rasa takut. Ia tahu bahwa suara jujur mungkin kecil, mungkin hanya satu di antara ribuan yang bisu. Tetapi ia juga tahu, suara itulah yang mampu mengguncang benteng kebohongan yang kokoh sekalipun.
Maka, menjadi kesatria di zaman ini tidak selalu berarti mengangkat pedang. Kadang, itu berarti berani berkata “ini salah” ketika semua orang diam. Kadang, itu berarti menolak ikut dalam arus kebohongan meski harus berjalan sendirian. Dan kadang, itu berarti menjaga suara nurani tetap lantang ketika orang lain berusaha membungkamnya.
Seorang kesatria bukan hanya pembela keadilan, tapi juga penjaga kebenaran. Ia sadar, bahwa keberanian sejati bukan tentang siapa yang paling kuat, melainkan siapa yang paling jujur pada dirinya sendiri dan berani menyuarakan kejujuran itu demi sesama.
Iklan
sponsor