Dulu, ketika gerhana bulan tiba, masyarakat percaya bahwa bulan dimakan Batara Kala, makhluk gaib berwujud raksasa dalam mitologi Jawa. Untuk "menyelamatkan" bulan, orang-orang menabuh kentongan, menumbuk lesung, dan menggugah ternak agar tetap terjaga. Ibu hamil tidak diperbolehkan keluar rumah, dengan harapan Batara Kala segera memuntahkan bulan dan bumi kembali terang. Sementara itu, anak-anak justru berlarian riang di halaman, menikmati suasana yang jarang terjadi.
Mitologi Batara Kala
Dalam cerita pewayangan, Batara Kala adalah putra dewa yang lahir akibat kutukan, sehingga berwujud raksasa menakutkan. Ia menyimpan dendam kepada Batara Surya (Dewa Matahari) dan Batara Soma (Dewa Bulan), karena keduanya pernah membongkar penyamarannya saat ia berusaha meminum tirta amerta, air kehidupan abadi para dewa.
Konon, setiap kali Batara Kala berhasil menangkap matahari atau bulan, terjadilah gerhana. Namun, ia tidak pernah bisa menelan sepenuhnya, sebab Dewa Wisnu telah memenggal lehernya dengan cakra, sehingga yang tertelan hanya sebatas kepala, lalu terlepas kembali.
Bagi masyarakat Jawa, suara kentongan dan tumbukan lesung dipercaya dapat mengusir Batara Kala agar segera melepaskan bulan. Inilah bukti bagaimana mitologi menjadi bagian dari cara masyarakat tradisional memahami dan memberi makna pada fenomena alam.
Sains di Balik Gerhana Bulan
Dari sudut pandang ilmiah, gerhana bulan terjadi ketika bumi berada di antara matahari dan bulan, sehingga cahaya matahari terhalang masuk ke permukaan bulan. Akibatnya, bulan tampak gelap atau berwarna merah tembaga karena cahaya matahari dibelokkan oleh atmosfer bumi.
Fenomena ini bisa dihitung dengan presisi oleh para astronom, bahkan jauh hari sebelum peristiwa itu berlangsung. Tidak ada unsur gaib yang terlibat, melainkan murni pergerakan benda-benda langit dalam tata surya.
Pandangan Islam tentang Gerhana
Dalam tradisi Islam, gerhana bulan dipandang sebagai tanda kebesaran Allah SWT. Rasulullah SAW mengajarkan bahwa ketika gerhana terjadi, umat Muslim dianjurkan untuk melaksanakan shalat khusuf (shalat gerhana), berdoa, dan bersedekah. Gerhana bukan pertanda sial atau bala, melainkan momen untuk memperbanyak zikir dan merenungkan kebesaran Sang Pencipta.
Antara Sains dan Mitologi
Gerhana bulan adalah contoh nyata bagaimana manusia, dari masa ke masa, berusaha memahami fenomena alam. Mitologi memberi kisah, simbol, dan makna yang menenangkan hati masyarakat tradisional. Sains memberi penjelasan rasional, akurat, dan terukur.
Keduanya bukan untuk dipertentangkan, melainkan bisa dipandang sebagai dua sisi dari cara manusia menghayati alam semesta. Mitologi menghadirkan cerita yang memperkaya budaya, sementara sains membuka wawasan yang menyingkap rahasia langit.
Ketika gerhana bulan 7 September 2025 nanti menghiasi langit, mungkin sebagian dari kita akan menengadah dengan kagum pada pengetahuan astronomi modern, sementara sebagian lain akan teringat dentang kentongan dan riuh anak-anak di halaman rumah pada masa lalu.
Begitulah gerhana bulan, selalu membawa kita dalam perjalanan lintas waktu: antara sains dan mitologi.
Iklan
sponsor

